JAKARTA, Lingkar.news – Isu Pulau Widi dijual memancing banyak reaksi keras. Tak hanya warganet yang dibuat emosi, melainkan para menteri. Secara khusus, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Sandiaga Uno menegaskan dalam cuitannya di Twitter, pada Kamis, 15 Desember 2022, bahwa Pulau Widi, Maluku Utara adalah milik Indonesia, tidak untuk dijual.
Isu penjualan Pulau Widi juga memancing reaksi tegas dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Ia menegaskan, pemerintah telah membatalkan Nota Kesepahaman Bersama (MoU) dengan PT Leadership Islands Indonesia (PT LII) terkait pengelolaan Pulau Widi.
Keputusan pembatalan MoU itu dilakukan usai Mahfud melakukan Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga terkait pengelolaan pulau-pulau di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, pada Rabu, 14 Desember 2022.
Hadir dalam rapat itu, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono dan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono.
Banyak diberitakan sebelumnya bahwa, gugusan pulau di Indonesia yang disebut sebagai Kepulauan Widi masuk daftar situs lelang asing Sotheby’s Concierge Auctions yang berbasis di New York, AS.
Padahal, ada lebih dari 100 pulau di Kepulauan Widi, atau yang dalam pelelangan tersebut disebut Widi Reserve, yang tersebar di kawasan seluas 10.000 hektare itu.
Menanggapi hal ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Selatan (Halsel), mengaku telah menyurati Pemprov Maluku Utara agar mencabut izin pengelolaan Kepulauan Widi yang diberikan ke PT Leadership Islands Indonesia (LII) karena dugaan pelelangan Kepulauan Widi di situs Sotheby’s Concierge Auctions itu.
Sebab, tindakan sepihak PT LII selaku pemegang izin pengelolaan Kepulauan Widi yang diduga melanggar secara terbuka seluruh ketentuan dan klausul kontrak yang tertuang dalam MoU, maka Pemprov Malut harus mencabut izin pengelolaan sekaligus membatalkan MoU antara pemprov dengan PT LII nomor 120.23/671/G, nomor 430/1047/2015, nomor LII/V/2015/001 tertanggal 27 Juni 2015 tentang pembangunan dan pengembangan kawasan pariwisata Kepulauan Widi.
Bupati Halmahera Selatan Usman Sidik menyebut, dasar permintaan pencabutan izin itu dijabarkan dalam 5 poin, di antaranya sejak MoU ditandatangani pada 27 Juni 2015 sampai dengan tanggal diajukan permohonan pencabutan izin, PT LII belum melakukan aktivitas apa pun di lokasi yang telah disepakati.
“Selain itu, ada keresahan masyarakat terhadap keberadaan PT LII karena tidak memberikan dampak ganda terhadap masyarakat sekitar, dan pihak pengelola terkesan membatasi akses warga sekitar Kepulauan Widi untuk melakukan pencarian ikan di Widi,” katanya.
Sebelumnya, Pemprov Malut melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) telah mengirimkan surat ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI terkait Permohonan Pencabutan Izin Pengelolaan Pulau Widi oleh Leadership Islands Indonesia (LII).
Kepala DPMPTSP Provinsi Malut Bambang Hermawan saat dihubungi membenarkan, DPMPTSP Malut telah mengeluarkan surat permohonan pencabutan izin pengelolaan Pulau Widi ke BKPM-RI karena beberapa pertimbangan.
Pertama yaitu pelanggaran Nota Kesepahaman Bersama (MoU) dengan Pemprov Malut dan Pemkab Halmahera Selatan serta surat dari Bupati Halmahera Selatan tentang Pencabutan Kesepahaman atau MoU.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD dalam Rakor Lintas Kementerian dan Lembaga terkait Pengelolaan Pulau-Pulau mengatakan bahwa, MoU sebelumnya dibuat oleh Pemprov Maluku Utara dan Pemkab Halmahera Selatan dengan PT LII soal pemanfaatan Kepulauan Widi. Namun karena dinilai bermasalah, MoU tersebut akhirnya dibatalkan Pemerintah Pusat.
“Pemerintah akan membatalkan MoU tersebut karena isinya atau prosedurnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan isi MoU itu sendiri tidak pernah ditepati oleh PT LII. Jadi kita akan membatalkan itu,” tegasnya.
Kesalahan itu salah satunya terkait soal tidak adanya izin dari Menteri KKP dalam MoU yang dibuat pemerintah daerah dengan PT LII.
“Menteri KKP sampai saat ini tidak pernah mengeluarkan selembar pun surat izin untuk itu. Kemudian juga di tengah obyek MoU itu ada hutan seluas lebih dari 1.900 hektare yang itu sebenarnya tidak boleh,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Seiring pembatalan itu, pemerintah akan kembali membuka kemungkinan untuk siapa pun yang akan melakukan investasi pemanfaatan pulau tersebut.
“Dengan catatan kalau PT LII berminat, boleh ikut mendaftar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” terang Mahfud MD. (Lingkar Network | Koran Lingkar)