JAKARTA, Lingkar.news – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan uji materi terkait Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang meminta agar rakyat diberi kewenangan untuk memberhentikan anggota DPR RI.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara nomor 199/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pleno di Jakarta, Kamis, 27 November 2025.
MK menilai argumentasi pemohon tidak beralasan menurut hukum. MK menegaskan bahwa usulan agar konstituen diberi kewenangan recall tidak sesuai dengan sistem demokrasi perwakilan yang berlaku.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan bahwa Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menetapkan partai politik sebagai peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
Sebagai konsekuensinya, mekanisme pemberhentian antarwaktu tetap menjadi kewenangan partai politik.
“Keinginan para pemohon agar konstituen di daerah pemilihan diberi hak yang sama dengan partai politik sehingga dapat mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR dan anggota DPRD, pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan,” kata Guntur.
MK juga menilai permohonan tersebut berpotensi memicu ketidakpastian hukum karena sama dengan mengulang pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan.
“Karena tidak dapat dipastikan pemilih yang pernah memberikan hak pilihnya kepada anggota DPR dan anggota DPRD yang akan diberhentikan pada waktu dilaksanakan pemilihan umum,” ujarnya.
Menanggapi kekhawatiran pemohon mengenai potensi kesewenang-wenangan partai politik dalam melakukan recall, MK menegaskan bahwa pergantian antarwaktu tidak boleh dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Putusan-putusan MK sebelumnya juga telah mengatur mekanisme pengawasan terhadap proses tersebut.
“Pertimbangan atau penilaian penggantian anggota DPR dan anggota DPRD oleh partai politik dimaksud dilakukan selaras dengan keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan,” jelas Guntur.
Ia menambahkan bahwa pemilih yang merasa tidak puas terhadap kinerja anggota DPR atau DPRD dapat menyampaikan keberatan kepada partai politik, atau tidak memilih kembali anggota tersebut pada pemilu berikutnya.
“Bahkan sesuai dengan regularitas waktu penyelenggaraan pemilihan, pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPR atau anggota DPRD yang dianggap bermasalah pada pemilu berikutnya,” katanya.
Perkara ini diajukan oleh lima mahasiswa yaitu Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka meminta MK menafsirkan ulang Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 agar recall dapat diusulkan oleh partai politik dan/atau konstituen.
Pasal yang mereka uji berbunyi “Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Namun, MK menyatakan tidak menemukan alasan kuat untuk mengubah pendiriannya dari putusan-putusan sebelumnya yang menguji ketentuan serupa.
Jurnalis: Ant
Editor: Rosyid