YOGYAKARTA, Lingkar.news – Sejumlah akademisi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran. Mereka menilai revisi ini terlalu terburu-buru dan berpotensi membungkam kebebasan pers.
“Kami mengusulkan agar Pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi. Jika ingin dibahas lagi nanti, silakan, tetapi harus dimulai dari awal dengan transparansi dan melibatkan berbagai pihak,” ujar Senja Yustitia, pengajar Prodi Ilmu Komunikasi UMY, dalam konferensi pers di Kampus UMY, Yogyakarta, Jumat (24/5).
Senja menegaskan bahwa proses revisi UU Penyiaran harus berlangsung secara terbuka dan demokratis. Ia menekankan pentingnya melibatkan jurnalis, akademisi, periset media, pelaku industri penyiaran, serta masyarakat umum dalam proses tersebut.
“Prosesnya harus panjang, melelahkan, terbuka, dan demokratis karena menyangkut legislasi. Jadi, tidak boleh serampangan dan terburu-buru,” tambahnya.
Lebih lanjut, Senja mengingatkan, regulasi yang dihasilkan dari revisi UU tersebut akan memiliki dampak besar bagi kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Ia menekankan peran penting pers sebagai pilar keempat demokrasi yang harus dijaga.
“Pers adalah pilar keempat. Jika eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak bisa diharapkan, maka kita bersandar pada media,” kata Senja.
Sementara itu, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi, menyebut beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran bermasalah dan berpotensi menghalangi kebebasan pers, salah satunya adalah larangan terhadap konten jurnalisme investigasi.
“Jurnalisme investigasi adalah salah satu strategi pers dalam mengawasi pemerintahan, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,” jelas Fajar.
Fajar juga mengkritik pasal yang menyatakan bahwa konten siaran di internet harus patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) dan memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyensor media sosial. Selain itu, ancaman pasal pencemaran nama baik terhadap pemberitaan di media sangat mengancam kemerdekaan pers di Indonesia.
Fajar menambahkan bahwa tumpang tindih kewenangan antara KPI dan institusi lain, seperti Dewan Pers, dalam mengatasi sengketa produk jurnalistik juga menjadi masalah. Menurutnya, berita dalam bentuk apapun adalah produk jurnalistik yang merupakan kewenangan Dewan Pers berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pengajar lain, Tri Hastuti Nur Rochimah, menyatakan bahwa berdasarkan draf RUU Penyiaran yang ia baca, UU Pers justru tidak dimasukkan sebagai konsideran. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa DPR terburu-buru mengesahkan RUU Penyiaran tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
“Keinginan DPR untuk buru-buru mengesahkan RUU Penyiaran sebelum masa jabatannya berakhir terkesan hanya untuk mengejar tayang, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat,” ujar Tri.
Tri juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika RUU ini disahkan, peran pers sebagai pilar demokrasi akan terancam.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, juga menekankan pentingnya mengakomodasi masukan dari semua pihak, terutama insan pers, dalam revisi UU Penyiaran untuk mencegah kontroversi. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)